Merawat Jiwa di Tengah Arus Modernitas
4 jam lalu
Sayangnya, stigma masih begitu kuat membelenggu masyarakat kita.
Oleh: Lisa Maharani Rizki
Wacana ini ditulis oleh Lisa Maharani Rizki, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
“Kadang saya merasa semua orang terlihat bahagia di media sosial, sementara saya sendiri seperti terjebak dalam kecemasan yang tidak berkesudahan,” ujar seorang mahasiswa dalam wawancara yang dilakukan penulis saat penelitian kecil mengenai tekanan psikologis generasi muda. Ungkapan sederhana itu mencerminkan dilema besar masyarakat modern: kemajuan teknologi, percepatan ekonomi, dan perubahan sosial yang melaju begitu cepat, tetapi di sisi lain meninggalkan luka batin yang jarang diakui. Di tengah arus modernitas ini, kesehatan mental kerap menjadi aspek yang terlupakan, padahal ia menentukan kualitas hidup manusia sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Sayangnya, stigma masih begitu kuat membelenggu masyarakat kita. Gangguan mental sering dipandang sebagai kelemahan, kekurangan iman, atau tanda kurang bersyukur. Orang yang berjuang melawan depresi atau kecemasan justru kerap mendapat label negatif alih-alih dukungan. Pandangan seperti ini tidak hanya keliru, tetapi juga berbahaya karena menutup pintu pemulihan bagi mereka yang membutuhkan pertolongan.
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia menunjukkan bahwa satu dari empat orang di dunia akan mengalami gangguan mental pada suatu titik dalam kehidupannya. Di Indonesia sendiri, Riset Kesehatan Dasar 2018 mencatat prevalensi gangguan mental emosional mencapai 6,1 persen pada usia 15 tahun ke atas, angka yang kemungkinan besar meningkat pasca pandemi COVID-19 (Kemenkes RI, 2018). Fakta ini menegaskan bahwa kesehatan mental bukan isu marginal, melainkan persoalan besar yang perlu ditangani serius.
Ironisnya, media sosial yang pada mulanya diharapkan menjadi ruang ekspresi justru sering memperparah kondisi psikologis. Pencitraan kebahagiaan, perbandingan tanpa henti, dan standar hidup yang nyaris mustahil dicapai menciptakan tekanan terselubung. Generasi muda menjadi kelompok paling rentan, sebab fase hidup mereka bertepatan dengan gempuran informasi yang berlebihan dan ekspektasi sosial yang kian menekan.
Dalam konteks pemulihan, dukungan sosial memiliki arti yang sangat penting. Banyak individu memilih diam karena takut dihakimi. Padahal, mendengarkan tanpa memberi label, mendampingi tanpa menggurui, dan sekadar hadir bisa menjadi bentuk empati yang memberi kekuatan. Budaya empati ini harus dibangun, baik dalam lingkup keluarga maupun komunitas. Tanpa itu, individu yang mengalami gangguan mental akan terus terjebak dalam lingkaran stigma dan kesunyian.
Tentu, dukungan tidak cukup hanya di tingkat personal. Negara melalui pemerintah dan lembaga kesehatan memiliki tanggung jawab menyediakan akses layanan kesehatan mental yang lebih luas. Konseling profesional, hotline darurat, dan edukasi publik harus dapat diakses tidak hanya di kota-kota besar, melainkan hingga ke pelosok negeri. Pendidikan pun berperan sentral. Kurikulum sekolah seharusnya tidak sekadar menekankan kemampuan kognitif, tetapi juga menanamkan keterampilan hidup seperti mengelola stres, memahami emosi, serta membangun empati terhadap sesama.
Lingkungan kerja pun tidak kalah penting. Tekanan target, jam kerja panjang, hingga budaya kerja yang toksik membuat banyak karyawan hidup dalam kondisi psikologis yang rapuh. Perusahaan seharusnya menyadari bahwa kesejahteraan mental pekerja adalah investasi jangka panjang bagi produktivitas. Program dukungan psikologis, cuti kesehatan mental, dan budaya kerja inklusif bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan.
Namun, tantangan terbesar tetaplah stigma. Banyak orang masih menganggap pergi ke psikolog sama dengan “gila”. Padahal, seperti halnya flu yang memerlukan dokter, kesehatan mental juga memerlukan tenaga profesional. Perubahan paradigma ini tidak bisa hanya diletakkan di pundak individu, melainkan harus menjadi gerakan sosial yang luas. Kita semua dapat berperan: membuka ruang percakapan, memperkaya pemahaman, dan menolak sikap menghakimi.
Dalam percaturan kehidupan modern yang serba cepat, kita perlu mengingat bahwa manusia bukan mesin. Kita membutuhkan ruang untuk bernapas, berbicara, dan merasa aman. Kesadaran dan dukungan kesehatan mental bukanlah opsi, melainkan kebutuhan fundamental zaman ini.
Kini, pertanyaan yang patut kita renungkan adalah: apakah kita ingin terus membiarkan stigma menutup jalan pemulihan, ataukah kita memilih membangun masyarakat yang lebih peduli, inklusif, dan sehat secara menyeluruh? Jalan yang kedua jelas menuntut usaha kolektif, tetapi dari situlah kita dapat mewariskan masa depan yang lebih manusiawi.
Lisa Maharani Rizki, penulis artikel ini.
Corresponding Author: [email protected]

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Merawat Jiwa di Tengah Arus Modernitas
4 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler